
DENPASAR, Lensabali.id – Kasus perkawinan anak di Bali kembali menunjukkan tren mengkhawatirkan. Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali mencatat sebanyak 368 permohonan dispensasi kawin anak sepanjang 2024, meningkat dari 335 permohonan pada tahun sebelumnya. Kabupaten Buleleng menjadi daerah dengan kasus terbanyak.
Ketua KPAD Bali, Ni Luh Gede Yastini, menyoroti bahwa banyak perkawinan anak terjadi karena kehamilan yang tidak diinginkan. “Akhirnya ketika ia (anak) menikah, mereka jadi tidak melanjutkan pendidikannya,” ujarnya saat peluncuran Program Tantri di Denpasar, Jumat (24/10/2025). Program tersebut diinisiasi oleh PKBI Daerah Bali dan berfokus pada isu kekerasan seksual serta perkawinan anak.
Yastini menyebut, 293 permohonan dispensasi diajukan ke Pengadilan Negeri dan 75 permohonan ke Pengadilan Agama. Bahkan, terdapat empat kasus anak di bawah usia 14 tahun yang dimintakan dispensasi kawin, masing-masing satu di Pengadilan Negeri Denpasar dan tiga di Bangli. “Calon mempelai laki-laki paling banyak berusia di atas 20 tahun, yakni sebanyak 212,” tambahnya. Dari total itu, 27 permohonan ditolak di Pengadilan Negeri dan tiga di Pengadilan Agama.
Data KemenPPPA juga menunjukkan peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bali, dari 331 kasus pada 2021 menjadi 438 kasus pada 2024, dengan 93 di antaranya kekerasan seksual. Secara nasional, tahun 2024 mencatat 31.793 kasus kekerasan, di mana 27.521 korbannya perempuan.
Ketua PKBI Daerah Bali, dr. I Made Oka Negara MBiomed FIAS, menilai masalah kekerasan dan perkawinan anak harus disikapi secara kolektif. “Kolaborasi akan menghasilkan dampak yang jauh lebih besar daripada kerja individu. Ini masalah lintas sektor yang butuh sinergi bersama,” ujarnya. Senada, Anak Agung Ayu Ratna Wulandari, Direktur Eksekutif Daerah PKBI Bali, menegaskan pentingnya membangun gerakan kolektif untuk menutup kesenjangan perlindungan anak dan perempuan.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, menilai persoalan ini tak lepas dari tekanan budaya. “Ah, be kadung kene, keto (sudah terlanjur), akhirnya ujung-ujungnya dikawinkan,” ujarnya menggambarkan pandangan masyarakat yang masih terjebak dalam tradisi ‘malu’. Ia menekankan pentingnya komunikasi terbuka antara anak dan orangtua agar remaja tidak merasa takut mengungkapkan masalah yang dihadapi. (*/ap)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar