Dengan nada santai namun penuh tusukan halus, Koster menegaskan bahwa politik bukan sekadar ajang berkomentar, melainkan ladang karya nyata.
“Kalau mau dihormati, buktikan karya yang bisa dirasakan dan dilihat masyarakat . Soal nyinyir, netizen tiap hari juga sudah kebanyakan dengar,” ujarnya.
Koster mengibaratkan politik seperti lomba masak di televisi: semua bisa berkomentar, tapi tidak semua bisa memasak. Ia menilai Artha lebih sering muncul di ruang obrolan dunia maya daripada menunjukkan prestasi nyata untuk Bali.
Tak berhenti di situ, Koster mengungkit rekam jejak Artha yang pernah dua kali gagal melaju ke DPR RI bahkan bukan dari dapil Bali.
“Kalau mau dipilih masyarakat, tunjukkan kontribusi nyata. Bukan cuma lewat obrolan di podcast,” sindirnya.
Ketegangan makin memanas ketika Artha ikut menyeret nama istri Koster, menuduhnya sebagai buzzer. Balasan Koster singkat namun telak "Dia bukan buzzer, dia istri saya. Kalau saya diserang, wajar dia membela. Itu manusiawi, setia namanya bukan dibayar.”
Koster pun mengingatkan masyarakat agar tidak mudah termakan framing sesat dari konten “keras di suara, kosong di karya”.
“Sekarang banyak opini menyesatkan. Masyarakat harus pintar memilah,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Koster memberi sindiran manis sekaligus peringatan politik: “Kalau mau nyaleg lagi 2029, berbuatlah simpatik. Bangun karya di Bali, biar masyarakat bener mau memilih"
Pesan moralnya jelas, bicara keras itu mudah, tapi membangun karya nyata adalah kelas para juara. Dan di mata Koster, itulah perbedaan antara pemimpin sejati dan komentator politik musiman.
di politik, yang bertahan dan nyata didukung rakyat bukanlah tukang nyinyir, tapi yang berbuat karya nyata. (AP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar