Koster menegaskan bahwa penandatanganan ini menjadi dasar hukum penganggaran Trans Metro Dewata agar lebih terencana dan berkesinambungan.
“Penandatanganan kerjasama ini dilakukan supaya dalam penyusunan APBD 2026 ada payung hukumnya. Tahun 2025 ini sudah berjalan, tetapi hanya sembilan bulan dari April hingga Desember. Sedangkan tahun 2026 akan dialokasikan penuh,” ujar Koster.
Dalam tahun anggaran 2026, penyelenggaraan Trans Metro Dewata akan didukung dana sebesar Rp56,3 miliar. Dari jumlah tersebut, 30 persen (Rp16,9 miliar) ditanggung Pemerintah Provinsi Bali, sementara 70 persen (Rp39,4 miliar) menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Rinciannya meliputi:
▪ Kabupaten Badung: Rp16,6 miliar
▪ Kota Denpasar: Rp15,8 miliar
▪ Kabupaten Gianyar: Rp5,3 miliar
▪ Kabupaten Tabanan: Rp1,6 miliar
Pembagian kontribusi dilakukan secara proporsional berdasarkan panjang lintasan serta intensitas layanan di masing-masing daerah.
Meski sudah berjalan, Koster mengakui tingkat keterisian Trans Metro Dewata masih rendah.
“Maksimum keterisian hanya 37 persen, padahal standar Bank Dunia 50–60 persen. Jadi masih cukup rendah. Kita akan evaluasi faktor dan penyebabnya,” jelasnya.
Ia menambahkan, pemerintah akan terus mengedukasi masyarakat agar beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik.
“Tidak mudah menyadarkan masyarakat. Apalagi di Bali jalannya pendek dan sempit, sementara masyarakat lebih terbiasa memakai sepeda motor. Namun pemerintah akan tetap berkomitmen menyeimbangkan kebutuhan publik dengan alokasi anggaran agar pelayanan berjalan efektif dan efisien,” pungkas Koster.
Penandatanganan perjanjian ini menunjukkan komitmen kuat pemerintah pusat daerah Sarbagita dalam menghadirkan transportasi publik yang ramah lingkungan, aman, dan nyaman bagi masyarakat. Ke depan, evaluasi berkala akan menjadi kunci agar Trans Metro Dewata benar-benar menjadi pilihan utama mobilitas masyarakat Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar