BULELENG, Lensabali.id - Akademisi Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, I Ketut Trika Adi Ana, berhasil meraih predikat penyaji terbaik dalam ajang International Digital Education Conference (IDEC) 2025 yang digelar oleh Universiti Sains Malaysia.
Dalam konferensi internasional bergengsi tersebut, Trika memaparkan penelitiannya bertema disleksia, yang menurutnya kerap disalahpahami oleh masyarakat. “Selama ini disleksia sering disalahpahami sebagai bentuk kemalasan atau ketidakmampuan anak dalam belajar,” ujarnya di Singaraja, Buleleng, Jumat (31/10).
Ia menegaskan bahwa anak dengan disleksia bukanlah anak yang tidak cerdas, melainkan memiliki cara kerja otak yang berbeda dan membutuhkan pendekatan belajar yang tepat. Dari pemahaman itu, Trika mengembangkan TrikaIndoDyslexic Font, hasil penelitian bertahun-tahun dengan model Successive Approximation, yang melalui tiga tahap: evaluasi, desain, dan pengembangan.
Berbeda dari font disleksia lain seperti OpenDyslexic, Dyslexie, dan EasyReading, yang hanya menitikberatkan pada perbedaan bentuk huruf, Trika menghadirkan pendekatan multisensori yang melibatkan visual, auditori, dan kinestetik. “Font sebelumnya masih bersifat visual semata. Anak-anak disleksia masih kesulitan mengingat huruf karena masalah pada memori jangka pendek dan kerja,” jelasnya.
Trika kemudian menambahkan unsur mnemonik, yakni hubungan antara bentuk huruf, bunyi, dan citra. Contohnya, huruf b diibaratkan “besar dan buncit,” sedangkan huruf d diasosiasikan dengan “daun.” Pendekatan ini membuat anak lebih mudah mengingat dan memahami huruf melalui asosiasi visual dan bunyi yang familiar dalam konteks budaya Indonesia.
Gagasan inovatif ini menuai pujian dari peserta IDEC 2025. Para akademisi internasional menilai karya Trika sebagai perpaduan sempurna antara teknologi, linguistik, dan empati. Beberapa bahkan menanyakan apakah font tersebut akan dijual seperti font disleksia lain di pasaran. Namun, Trika memilih jalur berbeda. “Tujuan utama penelitian ini adalah membantu anak-anak Indonesia yang mengalami disleksia agar bisa belajar membaca tanpa hambatan. Karena itu, saya merilis TrikaIndoDyslexic Font secara gratis,” tegasnya.
Keputusan itu disambut tepuk tangan meriah di ruang konferensi. Salah satu peserta bahkan menyebut karyanya sebagai “perpaduan antara sains dan kemanusiaan.” Menurut Trika, inovasi pendidikan semacam ini diharapkan dapat membuka kesadaran publik bahwa anak disleksia bukanlah pemalas atau bodoh, melainkan individu yang membutuhkan pendekatan belajar yang lebih manusiawi dan adaptif. (*/ap)
Dalam konferensi internasional bergengsi tersebut, Trika memaparkan penelitiannya bertema disleksia, yang menurutnya kerap disalahpahami oleh masyarakat. “Selama ini disleksia sering disalahpahami sebagai bentuk kemalasan atau ketidakmampuan anak dalam belajar,” ujarnya di Singaraja, Buleleng, Jumat (31/10).
Ia menegaskan bahwa anak dengan disleksia bukanlah anak yang tidak cerdas, melainkan memiliki cara kerja otak yang berbeda dan membutuhkan pendekatan belajar yang tepat. Dari pemahaman itu, Trika mengembangkan TrikaIndoDyslexic Font, hasil penelitian bertahun-tahun dengan model Successive Approximation, yang melalui tiga tahap: evaluasi, desain, dan pengembangan.
Berbeda dari font disleksia lain seperti OpenDyslexic, Dyslexie, dan EasyReading, yang hanya menitikberatkan pada perbedaan bentuk huruf, Trika menghadirkan pendekatan multisensori yang melibatkan visual, auditori, dan kinestetik. “Font sebelumnya masih bersifat visual semata. Anak-anak disleksia masih kesulitan mengingat huruf karena masalah pada memori jangka pendek dan kerja,” jelasnya.
Trika kemudian menambahkan unsur mnemonik, yakni hubungan antara bentuk huruf, bunyi, dan citra. Contohnya, huruf b diibaratkan “besar dan buncit,” sedangkan huruf d diasosiasikan dengan “daun.” Pendekatan ini membuat anak lebih mudah mengingat dan memahami huruf melalui asosiasi visual dan bunyi yang familiar dalam konteks budaya Indonesia.
Gagasan inovatif ini menuai pujian dari peserta IDEC 2025. Para akademisi internasional menilai karya Trika sebagai perpaduan sempurna antara teknologi, linguistik, dan empati. Beberapa bahkan menanyakan apakah font tersebut akan dijual seperti font disleksia lain di pasaran. Namun, Trika memilih jalur berbeda. “Tujuan utama penelitian ini adalah membantu anak-anak Indonesia yang mengalami disleksia agar bisa belajar membaca tanpa hambatan. Karena itu, saya merilis TrikaIndoDyslexic Font secara gratis,” tegasnya.
Keputusan itu disambut tepuk tangan meriah di ruang konferensi. Salah satu peserta bahkan menyebut karyanya sebagai “perpaduan antara sains dan kemanusiaan.” Menurut Trika, inovasi pendidikan semacam ini diharapkan dapat membuka kesadaran publik bahwa anak disleksia bukanlah pemalas atau bodoh, melainkan individu yang membutuhkan pendekatan belajar yang lebih manusiawi dan adaptif. (*/ap)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar