JAKARTA, Lensabali.id – Isu viral mengenai sumber air Aqua yang disebut berasal dari sumur bor dan dikaitkan dengan risiko longsor menarik perhatian publik. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam unggahannya mempertanyakan keamanan metode pengambilan air tanah oleh industri.
Menanggapi hal itu, Peneliti Hidrologi BRIN, Rachmat Fajar Lubis, menjelaskan bahwa pengambilan air tanah oleh industri air minum tidak dilakukan sembarangan. “Semua produksi AMDK harus memiliki benchmark pergerakan tanah,” ujarnya, Minggu (26/10/2025).
Menurut Fajar, setiap perusahaan diwajibkan memantau posisi dan elevasi tanah secara berkala untuk memastikan tidak terjadi penurunan atau pergeseran yang dapat memicu amblesan. Ia juga menegaskan bahwa izin pengambilan air diberikan berdasarkan debit aman, bukan batas maksimum.
“Volume yang diizinkan sudah diperhitungkan agar tidak merusak struktur tanah. Masalah baru muncul kalau pengambilan air melebihi batas izin,” ujarnya.
Selain itu, industri diwajibkan memiliki sumur pantau di beberapa titik untuk memonitor kondisi air tanah. Dari data ini, pemerintah bisa melihat apakah terjadi penurunan muka air tanah akibat pengambilan berlebih.
Fajar menilai banyak masyarakat salah paham soal fungsi sumur pantau. “Banyak yang bertanya, ‘kenapa bikin sumur tapi tidak diambil airnya?’ Padahal itu justru untuk memantau kondisi alami,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa selama perusahaan mematuhi izin dan hasil monitoring aktif dilakukan, risiko seperti longsor dapat dikendalikan. “Yang dibutuhkan sekarang adalah transparansi data dan edukasi publik,” pungkasnya.
Menurutnya, pengawasan berbasis data dan pemahaman publik yang lebih baik akan mencegah kesalahpahaman serupa di masa mendatang. (*/apn)
Menanggapi hal itu, Peneliti Hidrologi BRIN, Rachmat Fajar Lubis, menjelaskan bahwa pengambilan air tanah oleh industri air minum tidak dilakukan sembarangan. “Semua produksi AMDK harus memiliki benchmark pergerakan tanah,” ujarnya, Minggu (26/10/2025).
Menurut Fajar, setiap perusahaan diwajibkan memantau posisi dan elevasi tanah secara berkala untuk memastikan tidak terjadi penurunan atau pergeseran yang dapat memicu amblesan. Ia juga menegaskan bahwa izin pengambilan air diberikan berdasarkan debit aman, bukan batas maksimum.
“Volume yang diizinkan sudah diperhitungkan agar tidak merusak struktur tanah. Masalah baru muncul kalau pengambilan air melebihi batas izin,” ujarnya.
Selain itu, industri diwajibkan memiliki sumur pantau di beberapa titik untuk memonitor kondisi air tanah. Dari data ini, pemerintah bisa melihat apakah terjadi penurunan muka air tanah akibat pengambilan berlebih.
Fajar menilai banyak masyarakat salah paham soal fungsi sumur pantau. “Banyak yang bertanya, ‘kenapa bikin sumur tapi tidak diambil airnya?’ Padahal itu justru untuk memantau kondisi alami,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa selama perusahaan mematuhi izin dan hasil monitoring aktif dilakukan, risiko seperti longsor dapat dikendalikan. “Yang dibutuhkan sekarang adalah transparansi data dan edukasi publik,” pungkasnya.
Menurutnya, pengawasan berbasis data dan pemahaman publik yang lebih baik akan mencegah kesalahpahaman serupa di masa mendatang. (*/apn)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar